
Siapa sangka film indie karya anak negeri berjudul
Children of Srikandi, tembus festival film internasional bergengsi di
Berlin International film Festival pada 2012. Film ini pun telah diputar
lebih dari 40 kota di dunia serta meraih penghargaan, antara lain
pemenang katagori International Jury Award pada Festaival Film Queer di
Wina, Austria dan pemenang Diversity and Human Rights Award pada
Festival Film Zinegoak di Bilabo, Spanyol.
Children of Srikandi menjadi film dokumenter pertama tentang lesbian
di Indonesia. Film ini mengisahkan kehidupan lesbian dengan berbagai
latar belakang dan kecenderungan orientasi seksual mereka yang beragam.
Rupanya, di kalangan perempuan lesbian dikenal label seksualitas yang
lebih spesifik seperti lesbian butch bagi mereka yang merasa kualitas
maskulinnya dominan dan lesbian femme yang memiliki sisi feminim
dominan. Namun ada juga dari mereka yang tidak memilih label tertentu
agar dapat merayakan ekspresi seksual lebih bebas.
Karya 'berani'...
Karya yang terbilang 'berani' dari kelompok lesbian yang menamakan
diri the Children of Srikandi Collective ini menuturkan kisah dalam
sudut pandang unik. Pasalnya, film ini mangaitkan tokoh pewayangan
Srikandi sebagai benang merah untuk menyampaikan pesan tentang
diferensiasi seksual para perempuan yang beragam dan cair.
Tidak hanya menghadirkan kisah perempuan yang mengalihkan orientasi
seksualnya menjadi penyuka sesama jenis, film ini juga mengangkat kisah
dari Soleh dan Anik. Mereka berdua adalah dalang dan sinden yeng
bertransformasi dari laki-laki menjadi perempuan. Untuk kisah para
lesbian sendiri, ada sisi-sisi humanis yang muncul tentang terusirnya
mereka dari keluarga, pergulatan religius dan pilihan seksual serta
kisah cinta unik antar sesama lesbian.
»Sebenarnya Srikandi adalah tokoh yang berbeda di film ini," kata
Stea Lim, produser film itu. "Kami memang pakai Srikandi ini bukan di
sosok gendernya, tapi sebagai wanita yang tidak biasa, dia banyak
tantangan di masyarakatnya jaman itu.”
»Film ini jadi semacam media buat perempuan unuk bercerita tentang
kisahnya” imbuh Edith, penulis dan sutradara film Children of Srikandi.
Kisah tentang pilihan orientasi seksual Edith juga diceritakan pula
dalam film berdurasi 67 menit itu.
»Aku nggak tahu seberapa banyak pemahaman yang diberikan oleh publik
atau media, agar perempuan ngomong tentang apa yang dirasakan, tentang
pikirannya apa. Terutama ketika perempuan itu berbeda," Edith
menjelaskan. "Dan dia juga punya pengalaman yang mungkin tidak
mainstream. Aku sih melihatnya ajang untuk menyampaiakan apa yang jadi
pemikiran dan perbuatan.”
Stea Lim menjelaskan film ini bertujuan memberikan pemahaman berbeda
tentang sisi lain dari seksualitas perempuan. Penggarapannya sempat
mandek pada tahun 2010. Namun ia dan tim tak putus asa. Setelah tembus
di Festival Film Internasional di Berlin, jalan terang pun terbuka agar
film ini rampung dan didistribusikan di berbagai negara.
»Karena itu ajang sangat internasional banyak orang yang menonton dan
datang untuk menanyakan gimana kalau film itu diputar di Indonesia.
Mereka yang datang banyak dari universitas. Film itu akhirnya dipakai
untuk edukasi, di women studies, gender studies, asian studies. Setelah
itu akhirnya banyak yang ngundang dari festival ke festival,” jelas Stea
Lim.
Karena film ini tergolong film non-mainstream lantaran fenomena yang
dihadirkan tidak diterima publik sebagai kenormalan, maka tidak banyak
diputar untuk penonton umum di Indonesia.
»Kita mesti selektif, kita sadar tidak semua orang bisa menerima
film ini. Kita yang punya otoritas ini penonton mana yang ingin kita
dekati,” ungkap Edith. Meski demikian, Stea dan Edith berharap film ini
dapat ditonton oleh masyarakat umum agar kisah para perempuan yang
memiliki pengalaman seksualitas berbeda itu bisa diketahui dan dipahami.